Lantunan suara yang berbunyi buka….teruslah
berjalan, diteriakan oleh para Shoimun
setiap menjelang maghrib. Dan tak terasa kita sudah memasuki lebih kurang
setengah dari bulan Romadhon 1434 Hijriah. Ketika bulan penuh
berkah dan ampunan itu akan tiba, banyak tradisi yang ditunjukan oleh
masyarakat islam untuk menyambutnya. Ada dengan cara minta maaf kepada sesama
manusia yang dikenal–kalau mahasiswa atau pelajar mungkin menggunakan media
sms, mengirimkan ucapan selamat dan permohonan maaf, sehingga ketika
melaksanakan ibadah puasa jiwa ini benar-benar siap karena sudah terlepas dari
segala beban dosa atas sesama hamba Allah.
Ada juga yang menyambutnya dengan
limpahan dosa, karena mereka menganggap mempung belum puasa, maka dipuaskan
dulu untuk berbuat dosa, nanti bulan puasa bertobat. Apapun bentuk sambutan
masyarakat, tidak penting untuk debatkan, karena kita sedang membicarakan makna
pesan yang terkandung dalam puasa. Terlepas dari semua bentuk sambutan tersebut.
Namun, yang pasti seluruh umat islam di penjuruh dunia sangat bahagia yang tak terukur
nilainya dikalah Romadhon akan datang. Bagaimana tidak. Romadhon, Bulan penuh
limpahan rahmat yang diberikan Allah pada sepuluh hari
pertama, bulan penuh dengan mutiara ampunan yang dihadiakan Allah sepuluh hari
pertengahan, dan bulan penuh dengan kelipatan pahala yang dibonuskan Allah pada
umat Islam pada sepuluh hari terkhir atau yang sering kita sebut malam Lailatul
Qodar (malam seribu bulan).
Pada dasarnya puasa romadhon merupakan
kewajiban umat islam sebagaimana yang telah digasriskan Allah dalam Al-Qur’an
pada surat Al-Baqoroh ayat 183. Ketika kita melaksanakan perintah tersebut dengan mengharap ridlo Allah, maka terlepas sudah kita
dari kewajiban syari’ah dan kita akan dibalas oleh Allah sendiri berupa pahala
yang berlipat ganda, sebagaimana janji-Nya akan memberikan pahala puasa secara
langsung kepada anak adam yang berpuasa dengan sempurna. Sepintas kalau
dipahami ritual manahan lapar dan minum tersebut akan berlalu begitu saja. Seakan-akan
pekerjaan yang dilakukan hanya untuk melepas kewajiban dan ajang
mencari pahala.
Sebenarnya kalau kita gali lebih
dalam, akan banyak iktibar (pelajaran) yang terkandung dalam puasa
romadhon tersebut. Terganutung kita memehaminya dan pondasi niat yang kita buat dari awal puasa. Sebagaimana kata Rosulullah kalau
pekerjaan dunia tidak kita niati ibadah, seperti makan hanya dapat kenyang,
minum hanya dapat segar, olah raga hanya dapat badan sehat, tapi tidak dapat
pahala. Saya kira begitu sebaliknya dengan pekerjaan yang berbentuk amal
akhirot.
Sebagaimana puasa, kalau kita
memahami sebatas melepas kewajiban syari’at saja, maka kita tidak akan mendapat
iktibar yang terkait dengan urusan dunia. Pada hal kita dianjurkan untuk belance leafe (hidup seimbang)–Hablu
Minallah (hubungan vertikal, dengan Allah), Hablu
Minannas (Hubungan horizontal, sesama manusia) dan Hablu Minal ‘Alam (Hubungan Horizontal, dengan alam). Menurut hemat
saya ada beberapa hal yang bisa kita maknai dalam puasa baik dari hikmah maupun
pesan puasa yang terkandung didalamnya.
Dari renungan makna tersebut akan memberikan perubahan kesadaran dalam diri
kita–Kesadaran solidaritas, bersosial, mendekatkan diri pada Allah, kesadaran
asas manfaat terhadap sesama dan masih banyak lagi kesadaran yang mengarah
kepada berpikir konstruktif dan inovatif. Jika semua itu bisa kita realisasikan,
maka hadist Rosulullah yang mengatakan “Barang
siapa berpuasa dengan iman dan mengharap ridlo Allah, maka dia akan seperti
bayi yang baru dilahirkan” akan
benar-benar sempurna. Karena, tidak sebatas bersih dari segala dosa, tapi juga melahirkan insan-insan
yang berkarekter positif dan membangun peradaban umat manusia.
Sekarang kita
mencoba memahami pesan yang terkandung dalam puasa Bulan Romadhon. Pertama, Puasa
Romadhon membentuk kesadaran sosial, sehingga akan membentuk solidaritas sosial
dikalangan orang miskin. Karena pada
bulan puasa ini, seluruh umat islam, miskin kaya, rakyat biasa, elit politik
semuanya menahan lapar dan dahaga. Dalam proses menahan bersama itulah ada
pesan yang terkandung bahwa orang kaya bisa merasakan bagaimana penderitaan
orang miskin ketika mereka kekurangan, selanjutnya akan tumbuh kesadaran sosial
bagi orang-orang yang mau merenungkan hikmah dari puasa tersebut. Kesadaran
tersebut pun kita tak inginkan hanya
tumbuh sebatas pada bulan-bulan puasa. Namun, kesadaran tersebut akan menjadi
karekter dalam pergaulan sehari-hari atas sesama. Dengan
demikian sungguh luar biasa puasa seseorang jika dua tingkat kesholehan ia bisa
meraih semuanya–Kesholehan iman (bersih dari segalah
dosa seperti bayi yang baru lahir) dan kesholehan Sosial (terbentuk kesadaran
solidaritas atas sesama manusia tanpa pandang bulu). Allah Humma Amiin.
Amiin Ya Allah.
Kedua, ada hadits Nabi yang
mengatakan Shumuu Tashihuu, ”Puasalah kamu, maka kamu akan sehat”. Dari hadits diatas Dapat kita pahami bahwa
puasa dapat menyehatkan bada secara fisik bukan menjadikan kita lemah. Maka tidak ada alasan bagi
kaum profesi apapun untuk tidak puasa dengan alasan karena puasa membuat lemah
ketahanan tubuh. Ternyata hadits Rosulullah tidak sekadar kata-kata mutiara agar orang mau
berpuasa. Dari segi ilmu kesehatan, hasil penelitian tim dokter dalam tubuh
manusia ada kotoran yang tertimbun akibat dari metabolisme makanan yang
dikonsumsi selama satu tahun. Dan selama satu bulan tersbebut akan
dikeluarkankan dengan sendirinya oleh alat reproduksi masnusia dengan jalan
menahan makan dan minum selama sebulan penuh. Kalau kita maknai secara mendalam sehat tersebut tidak sebatas pada
wilayah fisik, tapi juga demensi akal dan pikiran. Mensana koperesana, akal
yang sehat terletak pada badan yang sehat. Akal yang sehat menghasilkan pikiran
yang jernih. Seseorang yang memiliki pikiran yang jernih akan melahirkan
inovasi baru dalam perjalanan hidupanya. Dengan demikian kesadarannya pun terbangun baik dewasa dalam
berfikir dan berpikir masadepan dalam bertindak.
Ketiga, dalam bulan puasa romadhan
kita sering mendengar kata-kata mudik. Bahkan dikalangan mahasiswa dan pelajar
sebagai orang perantauan sudah tidak asing lagi. Karena di akhir puasa mereka sibuk melihat
tanggalan untuk menentukan hari yang tepat mudik. Tradisi mudik dilakukan
setiap kalangan, kaya, miskin, orang biasa atau pelajar, yang pasti semua
mereka yang menyandang status orang perantauan. Aktivitas tahunan itu dilaksanakan pada
menjelang hari raya idul fitri. Mudik kalau kita pahami hanya sebuah proses
aktivitas maka mudik sebatas ritual rutinitas tahunan yang mengiasi bagian dari
keceriaan bulan suci ini. Mari kita amati, biasanya mereka yang pulang ke kampung membawa uang banyak dari hasil
kerja keras selama mencari nafkah. Realitas tersebut akan mendongkrak perekonomian
dikampung-kampung, karena nilai uang yang beredar bertambah.
Dari mereka banyak
membawa rezeki dari Allah, tentunya ada keinginan berbagi rasa atau bentuk rasa
syukur kepada Allah dengan cara memberi sesuatu baik berupa duit, makanan,
barang kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Itu artinya mereka memberikan pelajaran kepedulian sosial pada
kita semua, bagaimana hidup berbagi, saling memberi dan tolong menolong atas
sesama. Dari hanya sebuah aktivitas ternyata mudik juga memberikan dampak
positif dalam wilyah ekonomi, sosial dan sepritual. Makna mudik pada wilayah sepritual dapat kita temukan dalam
Al-Qur’an. Tradisi mudik dalam Al-Qur’an dapat kita ejawantakan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam konteks ini,
Allah berfirman; “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi
orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah
tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan
cara kembali kepada ampunan Tuhan. Tentunya momentum tersebut sangat
tepat kalau perintah dalam ayat tersebut kita terapkam dalam bulan yang penuh
maghfiroh ini.
Sebagaimana tujuan dari mudik kita adalah pulang ke kampung halaman agar
bisa berjumpa keluarga, sehingga menambah puncak kebahagiaan dalam merayakan hari
kemenangan. Begitu juga ketika kita ’mudik’ menuju ampunan Allah, karena kita
menginginkan puncak kenikmatan berupa surga yang akan diberikan oleh Allah
kepada orang-orang bertaqwa. Tentunya dalam melaksanakan tradisi mudik banyak
hal yang harus dipersiapkan, seperti barang-barang yang akan dibawah, oleh-oleh
untuk keluarga dan masih banyak lagi, dengan tujuan agar mudiknya berjalan
dengan lancar. Sama halnya ketika kita ’mudik’ menuju ampunan Allah, kita harus
mempersiapkan bekal amal ibadah yang banyak. Mungkin dalam waktu yang dekat
kita perbanyak amal ibadah dalam bulan penuh berkah ini, perbanyak melantunkan
kalimat istighfar sebagai tanda permohonan ampun. Semakin banyak dan mantab
bekal yang kita bawa maka peluang mudik kita akan sesuai rencana. Pada akhirnya
selamat mudik ke
kampung dan ke jalan Allah (ampunan).
Abu Laka (Departemen Media & Jaringan IKPM SUMSEL Yogyakarta 2012-2014)
* Tulisan ini pernah dimuat di Buletin
el-Tasriih Komplek “L” Ponpes Al-Munawwir Krapyak