Rabu, 10 Juli 2013

Filsafat Bukan Filsafat: Kritik Atas paradigm Praksis

 Dalam bukunya Lorens Bagus, “Dictionary Philosophy” kata philosophy secara bahasa berasala dari bahasa yunani, terdiri dari dua kata philos dan sophos . Philos yang berartikan cinta atau Philia (persahabatan, tertarik kepada) dan  sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis. Dapat diartikan cinta akan kebijaksanaan.
Filsafat telah mampu mempertahankan eksistensinya, dengan melahirkan para pemikir-pemikir radikalsm para pemikir empirism dan para pemikir-pemikir lainnya, yang sampai hari ini masih berkembang dan mampu mempertahankan eksistensinya. Filsafat merpakan sebuah induk  ilmu yang mampu melahirkan pelbagai disiplin ilmu, yang mampu merubah nalar manusia, dari teoritis hingga kepraksis, dari im-materi hingga menjadi potensi dan kemudian menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
Perjalana filsafat ala-klasik, yang ditandai dengan Thales yang mendapatkan gelar filosof awal, dengan pemikiraanya mengenai asal kejadian alam semesta adalah air sebagai antithesis atas potensi, dan kemudian dilanjutkan oleh Sokrates, Plato dan kemudian Aristoteles dan lain sebagainya. Era perjalanan filsafat ala klasik mempunyai tendensi pemikiraan tentang alam. Air, udara, api, angin dan atom merupakan buah pemikiraan filosof ala-klasik. Dalam periodesasi ala-klasik secara spisifik lebih terarah pada asal kejadian alam, kendati ada juga yang masuk rannah politik, etika dan lain sebagainya.
 perjalanan filsafat ala-pertengahan, periodesasi ini menurut pandangan beberapa penulis sekaligus pemikir besar semisal, Bertand Russul, Lorens Bagus, dan tidak kalah spektakulernya penulis Indonesia Siomon Petrus L. Ijahjadi mereka menulis secara garis besar bahwa filsafat ala-pertengahan lebih teridentifikasi pada rannah theology, dalam catatan Simon, filosof yang pertama kali menyingung hal itu, ialah Augustinus seorang pemikir yang lahir dari agama Kristen Romawi Barat, dan kemudian disusul oleh pelbagai pemikir-pemikir lainya. Semisal Anselmus, Abaelardus, Ibn rush dan yang tidak kalah spetakuler pemikir sekaligus teolog, Thomas Aquinas. Periodesasi ini banyak para pemikir yang kemudian menghasilkan buah pemikiranya pada rannah teology.
perjalanan filsafat ala-Modern. Periodesasi modern menurut catatan sejarawan maupun peninggalan pemikir-pemikir besar, terdapat tiga hal yang hingga detik ini masih dikenang oleh umat seluruh dunia. Zaman Renaissans, Zaman pencerahan (Aufklarung) dan seputar idealism jerman. Beberapa hal inilah yang kemudian terjadi dalam perkembangan filsafat modern, dimana manusia berusaha untuk merdeka secara esensi dan kemudian manusia sendirilah yang akan menetukan arah kehidupannya, dan yang paling marak adalah runtuhnya otoritas gereja. ciri dalam periodesasi ini. Dalam periode modern telah Nampak manusia mengunakan akal fikirnya secara esensinya. Dan berusaha menciptkan pelbagai alat untuk membantu kehidupan mereka.
Dan filsafat ala-mutaakhir atau yang sering disebut dengan periodesasi Postmodrenisme, dewasa ini bisa kita lihat bagaimana perkembangan manusia dan filsafat. Dalam konteks keindonesia saya sendiri telah mampu merasakan bagaimana perkembangan filsafat dan bagaimana perkembangan masyrakat. Untuk saat ini manusia mempunyai tendensi yang sangat plural menurut saya. Hal ini terbukti ketika manusia mempunyai hasrat serba ingin punya dan kehidupan yang terkotak-kotakan oleh system.   
Filsafat dalam kacamata eksternal? Filsafat yang selama ini saya pandang, dalam kacamata social masyarakat mengalami orientasi yang tidak jelas akan dinamikanya. Hal ini pun banyak terucap oleh ribuan mahasiswa yang bukan berasal dari mahsiswa filsafat? Bahkan saya menyaksikan pelbagai sarkasme filsafat dari pelbagai aliansi, semisal lingkungan yang masih sangat dogtriner dan filsafat sendiri dalam orientasinya terhadap masyarakat pun masih menjadi bahan pembicaraan, banyak dari golongan awam yang berasumsi bahwa filsafat itu menyesatkan. Benarkah demikiaan? Filsafat dalam kacamata internal? Mahasiswa yang menyandang filsafat, hingga detik ini Sudah mengalami penurunan  kualitas secara derastis. Hal ini juga pernah terlontar oleh salah satu dosen filsafat. Beliau mengatakan bahwa sampai detik ini filsafat mengalami kekurangan sumber daya pemikir ulung?
Saya sendiri selaku mahasiswa filsafat begitu ibah ketika harus mengatakan sebagai mahasiswa filsafat? Memang benar, jika hari ini banyak orang-orang yang memasuki wilayah filsafat, namun, dikemudian hari, menjadi bahan pertanyaan terkhusus bagi saya? Benarkah mereka masuk kawasan filsafat atas kesadaran diri mereka? Dalam hal ini terbukti bahwa pernyataan itu salah. Dan oleh karena kesalahan system ini pula akan memberikan dampak negative bagi orientasinya. Dan salah satunya akan menghambatnya eksitensinsi pemikir-pemikir kritis, yang teramat dirindukan oleh Negara ini.
PMB. Penerimaan mahasiswa baru, diprodi aqidah dan filsafat Uin Suanan Kalijaga tahun ini, yang meletakkan pilihan pertama hanya sekitar 18 orang dan kemudian yang diterima lebih dari 79 mahaiswa, baik melalui jalur prestasi, Bidikmisi, SNPTN, Regular maupun jalur mandiri. Bagaiaman munkin system mampu meletekan mahasiswa yang tidak berpotensi untuk berfikir kedalam jurang pemikir? Hal ini sangat ironis bukan? Demi kepentingan Negara, system telah mampu mengotori citranya sendiri?
Sangat disayangkan sekali, ketika satu demi satu mahasiswa filsafat harus pindah atau berhenti dari prody Filsafat dikarenakan system. Banyak dari kalangan dosen yang mengeluh ketika mengajar di jurusan filsafat, semisal lahirnya unggkapan “bahwa sekarang filsafat mulai ditelan bumi, bahwa filsafat sekarng sudah mati dan bahwa filsafat sekarang tidak lagi mampu mencetak pemikir-pemikir ulung” hal ini sudah kerap kali saya dengar. Hingga kemudian menjadi bahan perenungan saya sendiri? Kenapa kemudian dosen-dosen itu sendiri mampu mematahkan semangat mahasiswanya! Dalam benah saya pun berfikir bukankah sampai detik ini, banyak diantara dosen yang tidak masuk kelas ketika jam kuliah, lantas kenapa kemudian para dosen mampu mengatakan sedemikian.
Nah bagaimana seharusnya lembaga dapat mencetak pemikir-pemikir yang mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat Indonesia. Menurus saya, pertama yang harus dilakukan adalah membenahi kembali kinerja system, yang saya anggap menyesatkan paradigm. Menurut analisis saya, kinerja system yang selama ini, sangat  kurang propisonal. Hal ini terbukti ketika system memasukan masa kedalam jurusan yang ia tidak kehendaki. Harusnya pihak lembaa  memberikan kebijakan, terhadap masa yang hendak masuk kedalam prodi filsafat, diantaranya tidak ada pilihan kedua dan ketiga terkhusus bagi yang berminat pada prody filsafat, dengan pertimbangan kuantitas massa.
Dan yang kedua, kalangan mahasiswa harusnya tau diri, layaknya mahasiswa belajar tidak hanya dikelas. Namun harus menjadi orang yang aktif. Setidaknya membaca adalah hukumnya wajib. Senantiasa berdiskusi kendati hanya berdua dan senantiasa meletakan sanitis sebagai sentral. Kenapa kemudian banyak mahasiswa yang Vakum yang terkesan monoton? Problem yang fundamental adalah dimana manusia merasa sibuk hingga ia lupa kalau dirinya harus membaca, menulis, dan berdiskusi. Dan factor yang lain adalah males? Untuk menangulangi problem tersebut, penting kiranya bagi kita untuk membuat capaian-capaian yang hendak kita pahami (Motivasi diri sendiri).
Dengan demikian setahap demi setahap akan meningkatkan kuantitasnya pemikir. Dan tidak menuntut kemunkinan filsafat Indonesia akan bercahaya dibelahan Negara Indonesia.
 
*Shohibul Kahfi (Wakil Ketua Umum IKPM SUMSEL 2012-2014)

0 komentar:

Posting Komentar