Jumat, 22 Februari 2013

Akademik OK, Organisasi Yes


Berbicara tentang format mahasiswa ideal selalu menarik didiskusikan. Dalam konteks akademik, mahasiswa mempunyai tanggung jawab terhadap almamaternya maupun terhadap diri sendiri dan orang tua agar kuliahnya menghasilkan predikat memuaskan dan tepat waktu.
Sisi lain mahasiswa mempunyai label ”agent social of change” yang juga tak kalah pentingnya dilakukan. Kondisi ini masuk pada ranah kedudukan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan predikat ini sudah mengakar pada masyarakat umum bahwa mahasiswa merupakan garda terdepan dalam menatap perubahan masa depan bangsa. Masyarakat memandang mahasiswa itu bisa segalah-galahnya, baik dalam persoalan keilmuan maupun dalam urusan sosial. Dengan demikian ketika mahasiswa menjadi sarjana, mereka harus mampu merespon sekian persolan sosial yang terjadi di sekitar lingkungannya.
            Sementara, pada tataran tanggung jawab akademik mahasiswa dihadapkan pada kehidupan masa depan mereka. Selesai kuliah, bekerja atau menambah daftar pengguran terdidik? Artinya, pada wilayah ini mahasiswa bersentuhan yang namanya dunia kerja. Bicara dunia kerja terkait dengan kemampuan akademik dan IPK.
            Bagi mahasiswa yang memiliki kesadaran sosial (social awareness), paradigma yang dibangun adalah selain belajar juga diimbangi (balance) dengan kegiatan sosial, dengan harapan mereka dapat melaksanakan label yang selama ini dimiliki mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Pada konteks ini mahasiswa dihadapkan problem benturan aturan akademik yang mengekang kreativitas mahasiswa.
Dari dua dimensi tanggung jawab itulah, kemudian melahirkan beberapa tipikal mahasiswa. Pertama, Mahasiswa akademik ansich. Mahasiswa model ini biasanya rajin ke kampus. Ada yang menyebutnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang), mahasiswa segi tiga K (Kuliah, Kantin, dan Kos). Datang tepat waktu, semua tugas dikerjakan, catatan lengkap, dan manut pada dosen. biasanya diakhir semester menjadi incaran banyak mahasiswa untuk sekedar memfotokopi bahan kuliah dan dijadikan mitra menjawab soal UAS. Mahasiswa berkarakter tadi masih termasuk mahasiswa tipe pertama yang sering disebut mahasiswa anak dosen, karena tipe mahasiswa seperti itu biasanya diambil menjadi asdos, selesai melanjutkan akademik, kemudian menjadi dosen.
Masih dalam tipe pertama, mahasiswa model ini cendrung terjebak pada ranah formalitas dan menganggap bahwa ruang kuliah (baca : dosen) merupakan medium satu-satunya sumber ilmu. Kehidupan di kampus sebatas ajang bergaul dengan teman-teman satu kelas, karena tidak mengikuti kegiatan apapun di kampus, kecuali kuliah. Mind-set yang dibangun pun bersifat datar (pada umumnya), yaitu IPK coumlade, kuliah tepat waktu, lulus jadi PNS misalnya.
Padahal, kehidupan setelah kuliah tidak semudah dibayangkan. Fakta mengatakan, seringkali mahasiswa tipe pertama ini gagap ketika berhadapan pada persoalan nyata yang terjadi di masyarakat. Padahal mahasiswa mempunyai tanggung jawab sosial, selesai kuliah diharapkan bisa membangun desanya, pada level lebih besar membangun provinsi, agama dan negaranya. Begitupun dalam dunia kerja, ketika ia gagal dalam persaingan sesuai jurusannya, otomatis menjadi pengangguran terbuka, karena tidak mempunyai skill yang lain (monotonous capability).
Kecendrungan negatif adalah gengsi bekerja kalau itu bukan bidangnya, lebih baik nganggur dari pada menahan malu. Hal itu terjadi, karena paradigma yang terbentuk adalah pada orientasi (orientation) bukan kesadaran (awareness). Kesadaran dalam artian, mampu membaca peluang, kuliah tidak semata jalan mencari pekerjaan, memberikan kontribusi pada masyarakat (social responsebility), bekerja apapun (entrepreneur) yang penting bermanfaat dan positif.
Kedua, Mahasiswa aktivis. Tipekal mahasiswa ini memiliki kesadaran sosial bahwa label mahasiswa tidak hanya mempunyai tugas akademik, tapi ada tugas sosial. Satu sisi ada persoalan lain kesadaran yang dibangun kebablasan. Segudang agenda kegiatannya dalam berorganisasi terkadang melupakan tugas utamanya, yaitu kuliah. Bisa dikatakann ia tercarabut dari akar akademiknya. Aktivis model inilah yang membedakan dengan aktivis angkatan para founding fathers kita. Mereka aktvis, tapi tetap fokus dalam akademiknya.
Sebut saja Bung Karno, ranah akademiknya melahirkan Insinyur Tehnik, Hatta kemampuan dalam bidang ekonomi tidak bisa diragukan lagi, dan Syahrir kapasitas dalam diplomasi, membuatnya sering mewakili Indonesia dalam pertemuan Internasional. Mereka adalah orang-orang yang getol dalam kegiatan sosial demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak meninggalkan dunia akademiknya.
Tidak bermaksud mengatakan bahwa mahasiswa aktivis (sekarang) tidak mempunyai kemampuan dalam keilmuan apapun. Akan tetapi mereka menganggap bahwa ruang kuliah hanya mengekang kreativitas mahasiswa. Bagi mereka yang lebih massif membangun ilmu pengetahuan dialam terbuka seperti baca buku, diskusi, seminar, berorganisasi, bergaul dengan orang-orang pintar, dll. Pemahaman ini Penulis rasakan selama berproses didunia gerakan dan hasil dari dialektika dengan orang-oarang yang mempunyai pilihan bahwa diluar ruang kuliah lebih mencerdaskan.
Adalah realitas yang maklum mahasiswa model ini acapkali mendapat gelar MA (mahasiswa abadi) sebelum lulus. Mahasiswa aktivis ini pada umumnya bekerja tidak sesuai bidang kuliahnya, karena mereka banyak memiliki life skill. Rata-rata orang seperti ini mudah mencari kerja, jelas mereka banyak jaringan, mudah bergaul dan bisa beradaptasi dalam pekerjaan apapun. 
Gagasan Mahasiswa Ideal
Bagi penulis gagasan keseimbangan (balance) Akademik dan Ekstra suatu keniscayaan dan segerah direalisasikan. Kenapa demikian? Alasannya sederhana, melihat data litbang kompas awal 2009 hampir satu juta pengangguran SI bertebaran di bumi Nusantara ini. Kondisi ini bermuara dari konsep pendidikan hanya diukur dengan nilai (ijazah, IPK, kecepatan lulus), tapi tidak dibarengi dengan soft skill seperti kemampuan memimpin, bergaul, berdiplomasi, bekerjasama, integritas, inisiatif dan bertanggung jawab. Semua itu tidak didapatkan diruang kuliah.
Menurut survey National Association of Collegs and Employers (NACE) pada tahun 2002 di USA dari hasil jajak pendapat pada 457 pengusaha, bahwa IPK hanyalah nomor 17 dari 20 kualitas yang dianggap penting dari seorang lulusan PT. Kualitas yang menduduki peringkat atas adalah kemampuan soft skill. Pun disebutkan dalam buku The Millionaire Mind karya Thomas stanley, disebutkan dari hasil jajak pendapat melibatkan 733 multimillionaire. Menyimpulkan faktor utama kesuksesan adalah jujur, bergaul dengan baik, disiplin, memiliki pasangan yang mendukung, dan giat bekerja.[3]
Selanjutnya, terbatasnya lapangan kerja merupakan salah satu faktor yang mendorong agar mahasiswa mempunyai berbagai kemampuan (multi disiplener). Pertumbuhan angkatan kerja setiap tahun 2, 32 juta orang (Agustus 2008 hingga Agustus 2009), pengangguran terbuka per Agustus 2009 sudah 8. 96 juta orang. Pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi 2010 5,5 %, sedangkan 1 % pertumbuhan mencipatakan 350.000 lapangan kerja. Andaikan terealisasi 5, 5 X 350.00 = 1, 925 juta. Persoalannya untuk mencapai angka pertumbuhan tersebut membutuhkan dana Rp. 2855 triliun, sedangkan indonesia hanya mampu 13 % dari dana tersebut, sisanya dari swasta domestik berupa investasi asing, pasar modal dan pinjaman asing (Kompas, 22/12).
Dari beberapa paparan fakta dan data di atas, nampaknya dari berbagai kalangan (mahasiswa, dosen, pihak birokrasi kampus dan pemerintah) tidak punya alasan lagi untuk segerah mengimplementasikan diskursus keseimbangan Akademik dan Ekstra. Dalam kerangka ini ada tipikal mahasiswa ketiga, adalah mahasiswa aktivis yang akademis. Pada tipe ini mahasiswa memiliki kesadaran akademik (academic awareness) sekaligus kesadaran sosial. Atau kata lain tipe ketiga ini hasil dari antitesis antara mahasiswa akademik ansich dan mahasiswa aktivis. Mahasiswa ini menganggap kuliah juga harus diselesaikan. Tipe mahasiswa ini memiliki kelebihan dintara tipe mahasiswa pertama dan kedua. Basic keilmuan yang dibangun tidak sebatas diruang kuliah saja.
Tipe ini adalah format mahasiswa ideal–keseimbangan intra dan ekstra atau akademik dan organisasi–yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam membangun Bangsa Inodonesia kedepan. Oleh karena itu masih tergolong sulit menemukan mahasiswa tipikal seperti ini. Meminjam bahasanya Andreas Harefa, tipikal mahasiswa ini disebut mahasiswa pembelajar. Seorang mahasiswa yang terus-menerus belajar, baik dalam meraih prestasi akademik juga dengan belajar membangun kepekaan sosial (sensitivity of social) lewat aktivitas organisasi baik di dalam dan atau pun luar kampus.
Ada anggapan menyesatkan bahwa organisasi itu mengganggu kuliah. Jika ada dosen yang berkata demikian, dipastikan orangnya tidak pernah berproses didunia oraganisasi. Saya pikir tergantung individu masing-masing, persolannya bukan karena organisasi, tapi faktor pelakunya. Pengalaman penulis pernah mengikuti lima organisasi dikampus dan luar kampus dalam waktu yang bersamaan memegang tanggung jawab tiga organisasi, ternyata bisa menyeimbangkan kuliah dan organisasi. Jadi tidak ada alasan bahwa organisasi mengganggu kuliah.
Sebenarnya tidaklah begitu sulit menjadi mahasiswa aktivis-akademis. Hanya dibutuhkan manajemen waktu yang disiplin dan tahan banting dalam menghadapi tantangan hidup. Menjadi mahasiswa yang akademik dan memiliki segudang kegiatan tidak merugikan masa depan kita. Dalam pandangan ilmu kesehatan bahwa otak yang terbiasa banyak agenda kegiatan dan sering merasakan stres, loncatan suksesnya lebih besar. Dari pada orang yang hanya mempunyai kebiasaan kuliah-kos, maka otaknya akan terbatas hanya sampai diruang itu-itu saja.

Mencari Solusi.
Dari ketiga kategori mahasiswa di atas, masih ada tipe mahasiswa yang tidak mau peduli sama sekali, masuk pada tipe keempat, atau sering disebut mahasiswa masa bodoh. Baik tidak peduli dengan tanggung jawab akademiknya maupun tanggung sosialnya terhadap lingkungan di sekitarnya. Mahasiswa tipikal ini biasanya mempunyai kecendrungan hidup hedonis, semau gue, tidak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Intinya hidup mengalir apa adanya, hingga akademik pun tidak punya targetan yang muluk-muluk.
Dalam konteks UIN, tipe ini sedikit demi sedikit sudah mulai berkembang. Demikian, karena desain kampus yang nyentrik, makin mahalnya biaya pendidikan menyebabkan yang kuliah di UIN tidak hanya orang-orang menengah ke bawah, UIN di dikelilingi dua mall raksasa, dan kemajuan IT seperti Facebook, Email, Chat, Friendster, dll. Realitas ini harus dicegah sebelum terlambat.
Dengan demikian, sebenarnya ada dual hal yang perlu dicari jalan keluar oleh pihak birokrasi. Pertama, bagaimana membuat kebijakan berpihak pada mahasiswa, artinya tidak membunuh kreativitas mahasiswa, berikan kemerdekaan berkreasi, sehingga melahirkan insan akademik yang bertanggung jawab, integritas tinggi dan mampu melahirkan pemimpin yang siap mengisi kemajuan masa depan Bangsa Indonesia. Kedua, Pihak birokrasi dan mahasiswa agar menghindari tipe mahasiswa yang masa bodoh. Karena kalau dibiarkan budaya ini lakasana virus yang akan merambat dengan mahasiswa lain. Pada problem ini, perlawanan yang kita ciptakan sama dengan melawan hidden agenda arus globalisasi, yaitu menciptakan manusia yang serba instan dan hedonis. (Abu Laka : Departemen Media & Jaringan IKPM SUMSEL Yogyakarta).

0 komentar:

Posting Komentar