Peranan Universitas memecahkan kasus korupsi
negeri ini sangat urgen. Tidak hanya pemikiran brilian acap lahir dari
Perguruan Tinggi tapi legitimasi lembaga pendidikan ini cukup kuat mempengaruhi
kebijakan pemerintah maupun persepsi publik kaitannya penanggulangan korupsi.
Lihat saja, ketika komisi pemberantasan korupsi (KPK) dikriminalisasi
Kepolisian, dukungan kampus dan alumni PT seluruh Indonesia mampu meredam
gerakan kriminalisasi lembaga pemberantasan korupsi. Dari contoh itu
menunjukkan keberadaan dapat diandalkan masyarakat dalam menyikapi masalah
korupsi.
Keterlibatan kampus dalam
persoalan korupsi sejatinya lebih dominan. PT memberikan perhatian lebih
terhadap korupsi. Itu karena korupsi tidak hanya mengambil uang negara, lebih
dari pada itu korupsi menghancurkan jiwa/mental, pemikiran, nilai-nilai
kejujuran dan kemanusiaan seseorang maupun berjamaah. Bahkan dalam konteks
lebih ekstrem, korupsi mematikan sifat-sifat kemanusian bahkan ketuhanan dalam
diri manusia. Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, berpandangan korupsi
memunculkan sifat purba manusia.
Berbahanya dampak ditimbulkan
korupsi sejatinya menggugah kesadaran civitas akademika baik secara personal
maupun kelembagaan (baca: PT) untuk benar-benar memberikan perhatian khusus
pada masalah ini. PT mesti melakukan tindakan kongkret, tidak taktis melainkan
strategis dalam memutus dan membongkar akar-akar korupsi.
Kita patut mengapresiasi
beberapa universitas yang memberikan perhatian penting terhadap korup(si)tor.
Misalnya, Universitas Paramadina Jakarta memasukkan kurikulum pendidikan anti
korupsi terhadap peserta didiknya. Hemat penulis, cara ini cukup cerdas dalam
rangka penanganan masalah korupsi. Ihwal korupsi dikaji secara mendalam dari
bangku akademik. Dalam konteks itu, bukan saja pemikiran bernas akan ditemukan
dari rahim PT yang menelaah korupsi, tapi citra/pengaruh di masyarakat dan
bangsa akan memberikan persepsi berbeda dibanding korupsi hanya dilimpahkan di
KPK, Kepolisian, maupun lembaga penegak hukum lain.
Kelebihan Kampus
Bukan maksud mengkerdilkan
peran institusi penegak hukum dalam rangka memberantas korupsi, namun
keberadaan universitas mengentaskan korupsi tidak kalah urgen. Itu karena PT
masih dianggap ruang atau wilayah netral yang bebas berbagai kepentingan
politik praktis, alasan-alasan ekonomi jangka pendek, atau motif-motif
kejahatan lain sehingga produk pemikiran korupsi dari PT berkualitas dan murni
pemikiran ilmiah yang tulus dalam memberikan sumbangsih gagasan mengatasi
korupsi.
Itulah mengapa masyarakat
menaruh harapan besar pad kampus untuk menanggulangi korupsi. KPK dan
Kemendikbud mampu membaca kebutuhan dasar publik tersebut sehingga kedua
lembaga negara itu menjalin kerja sama dengan beberapa PT di Indonesia untuk
bekerja bareng menjadikan korupsi musuh bersama (common enemy). KPK
sudah melatih 1.007 dosen di 10 wilayah perguruan tinggi yang bekerjasama
dengan Dirjen Dikti Depdikbud.
Peluang dan kesempatan itu
dapat dioptimalkan PT dengan menjadi garda depan bersama KPK maupun institusi
penegak hukum lain memberantas korupsi yang menggerogoti hampir semua
sendi-sendi kehidupan. Artinya, PT dapat lebih bisa menunjukkan taring sebagai
lembaga yang tidak hanya konsen di bidang akademik an sich, tapi
kampus dapat pula menonjolkan kuasanya dalam hal mengikis habis gerakan para
koruptor yang membuat sengsara negeri kita.
Di titik ini, bila kampus
mengemban misi mulia itu, keteladan sejatinya bisa ditunjukkan elemen PT, entah
mahasiswa, karyawan, dosen, atau bahkan universitas secara kelembagaan. Dari
itu keteladanan mesti dibarengi dengan kepemimpinan yang kuat di dalam PT yang
bersangkutan. Peran rektor dan pimpinan-pimpinan terkait menjadi begitu
signifikan untuk menunjukkan kampus memiliki komitmen serius memberikan
sumbangsih signifikan terhadap republik dalam hal penanganan masalah korupsi.
Keteladanan
Komitmen mesti dibarengi
dengan tindakan konkret maupun contoh riil. Dengan bahasa lain, PT dapat
menunjukkan pada publik bahwa kampus secara sungguh-sungguh memerangi korupsi.
Karena itu kita berharap kejujuran holistik terjadi di dalam universitas.
Praktik korup atau budaya korupsi jangan sampai terjadi di kampus. Bilapun ada
fenomena korupsi di internal PT sejatinya politik tebang pilih tidak terjadi di
kampus dalam proses pengungkapan para koruptor. Siapa pun dia, apa pun jabatan
dan latar belakangnya jika terbukti melakukan korupsi mesti ditindak. Oleh
karena itu, kasus 16 rektor universitas yang diduga terlibat praktik korup
dalam pembahasan anggaran Kemendiknas 2010—dapat diungkap. Publik butuh
keseriusan, keteladanan PT, bukan retorika yang kering dan hampa makna.
Harapan besar digantungkan
masyarakat pada kampus yang memiliki integritas melakukan pemberantasan
terhadap masalah korupsi. Sebab bagaimanapun juga mengikis habis budaya atau
praktik korupsi tidak hanya bisa dilakukan KPK dan lembaga penegak hukum lain.
Universitas dapat menjadi mitra institusi penegak hukum dalam upaya
pemberantasan penyakit korupsi.
Agus Syahputra
(Ketua Umum IKPM SUMSEL 2012-2014)
0 komentar:
Posting Komentar